Selasa, 16 Agustus 2011

Cagar Alam Tanjung Api

 
Kabupaten Tojo Una-una memiliki salah satu kawasan wisata alam yang sangat unik dan fenomenal yang kerap dikunjungi para wisatawan baik domestik maupun mancanegara, yakni Cagar alam Tanjung Api, yang secara administratif pemerintahan terletak di Kec. Ampana Kota Dan Ampana Tete, Kabupaten Tojo Una-una Propinsi Sulawesi Tengah. Dalam kawasan ini pengunjung bisa menikmati fenomena alam berupa nyala api dari dalam tanah yang bersumber dari panas bumi dan adanya gua beraliran sungai. Keunikan inilah yang menjadi daya tarik utama tanjung api, dimana api berpijar secara alami dari tanah, setiap kali kita mengeruk pasir maka dengan sendirinya api keluar dari kerukan tanah tersebut. Jika dilihat dari fenomena alam ini, kemungkinan di daerah ini masih tesimpan Liquid Natural gas (LNG) atau gas pijar alam dalam jumlah yang besar namun kekayaan didalamnya tidak bisa dieksploitasi mengingat tempat ini sudah diresmikan menjadi cagar alam pada Februari 1977. Selain itu didekat kawasan ini terletak taman laut yang indah dan alami yang cocok untuk kegiatan snorkelling serta berjemur diatas pasir. kawasan cagar alam tanjung api selain mempunyai fungsi utama sebagai tempat perlindungan flora dan fauna endemik sulawesi juga mempunyai fungsi hidrologis bagi daerah sekitarnya dan sumber air minum bagi warga di desa-desa sekitarnya. air yang berasal dari cagar alam ini mengalir dalam tanah melalui sebuah gua di dalam kawasan dan muncul sebagai mata air di sepanjang pantai labuan.



Secara geografis cagar alam Tanjung Api terletak antara 0° 53? sampai dengan 0° 58? LS dan 121° 33? sampai dengan 121° 37? BT. Cagar alam Tg. Api selain berbatasan geografis, juga berbatasan alam dengan desa Labua dan Kel. Dondo (Kec. Ampana Kota), desa Pusungi, desa Tete A dan Tete B (Kec. Ampana Tete) jaraknya ± 500 km dari Palu. Batas-batas cagar alam Tg. Api secara rinci terdiri dari:
* sebelah barat teluk Tomini
* sebelah timur teluk Tomini
* sebelah utara teluk Tomini
* sebelah selatan desa Labuan, Kel. Dondo, desa Pusungi, desa Tete A dan Tete B.
Luas dan Status
Sesuai surat keputusan Menteri Pertanian No. : 91/Kpts/Um/2/1977 tanggal 21 Februari 1977 ditetapkan sebagai perlindungan api alam di sekitar Tanjung Api dan gua air yang terdapat dalam kawasan cagar alam juga sebagai perlindungan flora dan fauna yang unik yang tumbuh dilokasi sumber api alam / panas bumi. Luas kawasan CA, Tanjung Api: 4.246 Ha. Topografi
Umumnya topografi di kawasan CA. Tg. Api berbukit-bukit dengan batu kapur dan karang yang ditutupi oleh jenis pohon-pohonan. Flora
Beberapa flora yang banyak tumbuh di CA. Tg. Api antara lain: Pangi (Pangium edule), Kayu bayam (Intsia biyuga), Siuri (Koordersiodendron pinnatum), Palapi (Heritiera sp.) dan lain-lain. Fauna
Jenis-jenis satwa yang dapat dijumpai antara lain: Ketam kenari (Birgus latro), Monyet hitarn (Macaca tonkeana), burung-burung (Maleo, Elang, Rangkong, burung-burung air/Kuntul) dan ular. Akses menuju CA. Tanjung Api
Menuju CA. Tanjung Api dapat dicapai dengan kendaraan mobil / motor dari Palu - Ampana ± 500 KM (Desa Tete A dan Tete B) kemudian jalan kaki 1 Jam atau dengan speed boat ke lokasi sumber api alam ± 30 menit.

Minggu, 31 Juli 2011

Kerbau Belang "Tedong Bonga", hewan khas Toraja.



Tana Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan tak cuma terkenal dengan budaya dan adat istiadat. Daya tarik lain yakni adanya rumah dari kerbau termahal di dunia. Konon tedong bonga atau kerbau belang dengan beragam corak hanya bisa hidup di daerah ini.

Kerbau sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat Toraja. Sebab kerbau adalah hewan utama dalam upacara pemakaman. Kerbau albino belang jenis bubalus bubalis atau kerbau lumpur, banyak dijumpai di Tana Toraja. Hewan ini cantik dan harganya bisa mencapai Rp 300 juta. Harga ditentukan ragam corak dan kemulusan kulit.

Maka tak heran tedong bonga sering disebut kerbau raja. Perawatan tedong bonga berjenis saleko atau belang seluruh badan ini memang bak raja. Tiga kali seminggu kerbau bernama artis dua ini ditemani berendam selama tiga jam. Seluruh badan juga diberi shampo agar bulu-bulu tidak rontok.

Rumput yang diberikan harus segar. Sang kerbau pun cukup tunggu di kandang karena semua akan dilayani perawat kerbau. Sang perawat mendapat upah Rp 600 ribu per bulan. Tak heran jika kerbau berusia sembilan tahun itu memiliki berat 700 kilogram.

Kandang kerbau juga diasapi rumput basah. Hal ini bertujuan menjaga kerbau dari gigitan nyamuk.

Nah dalam upacara pemakaman atau rambu solo, kerbau dianggap sebagai kendaraan menuju alam baka. Simbol ini tergambar dalam upacara pemakaman nenek Theresia Tangdo Pole, asal Deri yang meninggal pada 2008 silam.

Karena kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat Tana Toraja, keluarga mengeluarkan Rp 4 miliar untuk biaya upacara. Sebagian besar dihabiskan untuk membeli kerbau yang disembelih selama empat hari.

Jumat, 29 Juli 2011

Hewan Endemik Sulawesi Tengah "BABI RUSA"

  • Babi Rusa/Babi Hutan

Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.
Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.
Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.
Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar
Karateristik badak Sumatera antara lain, adalah sebagai berikut:

  • menurut Taksonomi, badak Sumatera tergolong dalam suku Rhinocerotidae bangsa perissodactyla (berkuku tiga), kekerabatan terdekat dengan suku Tapiridae (tapir) dan suku Equidae (kuda), merupakan mamalia normatif sejati;
  • tinggi badannya antara 120 cm – 135 cm, panjangnya antara 240 cm – 270 cm dengan berat tidak lebih dari 900 kg;
  • lapisan kulit tidak terlalu banyak, hanya dua lipatan besar yang menonjol. Lipatan yang pertama melingkari paha di antara kaki depan dan lipatan yang kedua di atas perut bagian samping serta terdapat beberapa lipatan kecil di daerah leher;
  • warna kulit umumnya coklat tua kemerahan, tetapi penampilan akan berubah tergantung dari air atau lumpur tempat berkubang;
  • tubuhnya ditumbuhi rambut (eksotik) walaupun rambut yang lebat hanya tumbuh di ujung telinga. Inilah yang paling membedakan badak Sumatera dengan badak lainnya;
  • memiliki 2 (dua) cula, cula belakang lebih pendek dari cula depan bahkan kadang hanya berupa bongkol kecil. Cula badak jantan lebih panjang dibandingkan badak betina; hidup soliter (menyendiri) di dalam hutan yang luas kecuali pada musim kawin;
  • sangat suka berkubang; suka berjalan jauh, sangat sensitif dengan daya penciuman dan pendengaran yang sangat baik dan merupakan satwa nocturnal (aktif di malam hari);
  • perkembangbiakan atau reproduksinya sangat lambat, awal kawin umur 6-7tahun, bunting 15-18 bulan, mengasuh anak selama 2 (dua) tahun, setiap lahir hanya satu ekor;
  • bagian tumbuhan yang biasa dimakan adalah pucuk daun, ranting, batang, kulit, akar, bunga dan buah dengan kesukaan dominan tingkat sapling seperti semak dan pohon-pohonan. Adapun cara makan Badak Sumatera adalah dengan memangkas, menarik, merobohkan atau mematahkan;
  • keberadaan badak Sumatera dapat dideteksi dari jejak khas yang ditinggalkannya, potongan bekas makan, tanda putaran bekas semak (twisting) dan urinasi bekas demarkasi atau kubangannya yang jelas berbeda dari satwa lainnya (terdapat bekas cula di dinding kubangan),

Deskripsi "Badak Sumatera"

Badak Sumatera merupakan salah satu mamalia dilindungi, nama ilmiah badak Sumatera adalah Dicerorhinus Sumatrensis, berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari suku kata; Di berarti dua, Cero berarti cula dan rhinos berarti hidung, sedangkan Sumatrensis merujuk pada Pulau Sumatera (akhiran ensis dalam bahasa Latin menunjuk pada wilayah atau daerah).


Badak Sumatera dapat dijumpai mulai dari kaki pegunungan Himalaya di hutan dan India Timur, menyebar ke seluruh Myanmar, Thailand, dan Semenanjung Malaysia, dan di pulau Sumatera serta Kalimantan. Pada umumnya jenis ini dapat hidup dengan lebih baik di habitat alamnya dibandingkan badak Jawa. Hal ini sebagian mungkin karena satwa ini lebih banyak menghuni pegunungan dan hutan di dataran tinggi dimana tidak banyak gangguan pembangunan dan pembalakan. Sebaliknya dengan badak Jawa yang merupakan jenis yang tinggal di daerah pantai dan lembah sungai (SKBI, 1993:57).

Populasi Badak Sumatera baik di Indonesia maupun di seluruh dunia sangat terancam punah. Populasi yang ada saaat ini sangat kecil, tersebar dan sebagian besar terancam oleh perburuan liar dan lenyapnya habitat. Sungguhpun seandainya tidak terjadi kehilangan jumlah lebih lanjut, populasi yang ada sekarang ini sangat kecil sehingga sangat peka terhadap bencana alam, kelemahan genetik dan demografik, sebagaimana umumnya terjadi pada populasi yang kecil. Berdasarkan data dari International Rhino Foundation pada tahun 2005 diperkirakan populasi badak Sumatera saat ini hanya sekitar 300 (tiga ratus) ekor yang tersebar di hutan-hutan Sumatera, penyebarannya terdapat di daerah Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat dan hutan di Riau (Dedi Candra, 2005: 6-7. “ Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis),” Warta Konservasi Taman Nasional Way Kambas. Edisi Kedua).

Keberadaan badak Sumatera terancam punah akibat perburuan sejak tahun 1992. Perburuan yang terjadi sering memutus mata rantai perkembangan satwa langka yang sejak tahun 2001 masuk dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES (Konvensi perdagangan internasional flora dan fauna langka) (Siaran Pers Dephut No: S.374/II/PIK-1/2005).

Faktor penyebab menurunnya populasi badak Sumatera, selain karena ancaman perburuan liar maupun adanya perambahan dan konversi hutan antara lain, juga disebabkan sulitnya satwa ini untuk berkembangbiak di habitatnya yang dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik satwa tersebut.